A part of my I-wish-i-could Novel

Rambut hitamnya terurai melambai tertiup angin dan menghalangi sebagian wajahnya yang merah terbakar panansya matahari. Tapi nyatanya, Lana masih tidak ingin pergi dari pantai. Ia masih berlari diantara deburan ombak pinggir pantai. Baju terusan putihnya sudah hampir basah, topi anyamannya sudah terbang tertiup angin, dan keinginannya untuk pergi tidak lagi ada. Ia hanya ingin terus ada di situ sampai matahari tenggelam lalu ia akan siap menjadi dirinya lagi keesokkan harinya.
Liam berdiri di sebelah pohon kelapa masih dengan kameranya dan sibuk membidik setiap sudut pantai. Ia memutar-mutar lensa kameranya, memfokuskan kameranya pada sebuah objek. Klik, ia berhasil menangkap satu lagi kenangan dalam gambaran foto. Liam kembali mencari suasana baru, matanya berputar menulusuri garis pantai. Ia tiba-tiba terpaku, tidak pernah ia lihat seseorang begitu lepas tertawa dan berlari di sekitar pantai. Ia terpana karena wajah merah itu membentuk sebuah kebahagiaan yang jujur dan begitu bebas. Segera Liam mengangkat kamera dan memotretnya, satu kali. Dua kali. Tiga kali. Sejenak ia akhirnya tersadar bahwa Lana memang gadis yang berbeda dan perbedaan itu membuatnya jatuh cinta.

[a love letter]
Written by Bulan

1 comment: